Sempurna Dunia
Chapter 4 K dan M
bit fiktif Benci merupakan cerminan suka. Ketika kita membenci seseorang, tanpa
kita sadari, alam bawah sadar kita, akan mendorong kita mengusik kembali lembaran-lembaran
kisah kehidupan orang yang kita benci. Menyelidiki kembali isi buku hitam orang
itu. Kesalahan yang orang itu perbuat di masalalu, biarpun kecil, akan di
perbesar oleh rasa benci itu. Tetapi bukan buku hitam saja yang akan kita
temukan, sejarah kebaikan, suka dan duka orang itu, mungkin akan tertumpah dari
rak-rak kehidupnya, jika kita terlalu mencari tahu.
Kisah hidup orang yang kita benci akan melekat kuat tertempel di otak kita, karena kebencian itu memaksa kita melakukannya, karna itulah kebanyakan orang lebih mengenal baik musuhnya ketimbang temannya sendiri. Seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”, maka tak jarang rasa benci tadi berubah menjadi rasa suka, karna kita sudah terlalu mengenal orang yang kita benci. Kita akan merasa lebih nyaman bersama orang yang kita kenal, karena mengenal dan mengetahui bisa membangkitkan kepercayaan, dan kepercayaan sarat dengan keintiman, yang membangkitkan rasa suka.
Kami berdua menuntut ilmu di sekolah yang sama, dari masih mengenakan celanaku dongker, sampai jadi generasi putih abu-abu, aku masih satu sekolahan dengan Lia, sayangnya cuma 2 tahun, aku dan Lia memakai logo osis di SMA yang sama, sebelum aku akhirnya hijrah dari Dago, dan melanjutkan tahun akhir masa SMA ku di Jakarta.
Tepat pertengahan tahun kedua ku bersekolah di SMP yang sama dengan Lia, aku mulai berpacaran dengan Lia. Selama 1 setengah tahun, sejak aku pertama kali berkenalan dengan Lia, aku menjadi orang yang membenci gadis ini. Sombong, arogan, sok cantik, menganggap remeh orang lain, itu kesan pertama waktu aku baru berkenalan dengan dia, waktu itu dia benar-benar orang yang menyebalkan, sehingga aku membencinya. Tapi satu setengah tahun berlalu dengan menjadi "Heaters"-nya, gadis ini berubah menjadi sosok yang pendiam.
Awal tahun kedua SMP, tante Erlin, mama nya Lia meninggal dunia, di akibatkan kecelakaan mobil. Hal inilah yang membuat Lia berubah drastis. Gadis sombong pengumpat dan suka mencemooh orang itu sentak mengalami perubahan kepribadian menjadi sosok yang pendiam dan dingin. Dia menjadi lebih sensitif, mudah marah, tapi memendamnya dalam hati, aku bisa melihatnya. Seminggu lebih tiga hari seingatku, Lia bahkan tidak ku bonceng ke sekolah, dia tidak keluar rumah, bahkan keluar kamarnya pun dia jarang, memilih mengunci diri, setidaknya itu yang di ceritakan om Bob kepada ku.
Lia dan om Bob, tidak terlalu dekat, ....maksud ku bukanya hubungan mereka tidak baik, mereka tidak ada konflik apapun, saling komunikasi dan berinteraksi, layaknya hubungan normal antara ayah dan anak. Tapi tak seperti mamanya Lia, tante Erlin, beliau tidak hanya menjadi sosok seorang ibu bagi anak gadisnya itu, beliau juga bisa menjadi sosok seorang sahabat bagi Lia. Kalau Lia ada masalah disekolah, masalah dengan teman, bahkan saat Lia naksir dengan seseorang, Lia selalu curhat ke tante Erlin, mamanya. Aku pun pernah satu ketika curhat dengan beliau.
Layaknya seorang ayah yang super sibuk, tiap minggu harus keluar negeri mengurus pekerjaan, om Bob tidak memiliki banyak waktu mengobrol santai dengan Lia, membahas kehidupan masa remaja anak gadisnya itu. Jangan kan untuk bisa curhat, bahkan pekerjaannya itu membuat beliau jarang melakukan liburan keluarga bersama, wajar kalau hubungan mereka tidak terlalu dekat. Namun rasa sayang om Bob untuk anak dan istrinya sangatlah besar.
Mengantar Lia setiap hari, sebenarnya tugas yang di berikan om Bob kepada ku, karna dia begitu peduli dengan pergaulan anaknya, dan tidak mau anaknya terjerumus kedalam pergaulan muda-mudi zaman sekarang yang sangat bebas, maka dibalik kata mengantar, sebenarnya ada kata mengawasi, tapi om Bob tidak memberitahukannya ke Lia, mengawasi Lia menjadi rahasia antara om Bob dan aku saja.
Perubahan sikap Lia yang drastis, seperti kapal pesiar yang berputar 180 derajat, ketika sang nahkoda kapal melihat ada batu karang raksasa di depannya, membuat kepala om Bob pusing dan dilanda rasa khawatir, takut anak gadis semata wayang nya ini kenapa-kenapa. Hal ini merembes kepada ku, awal benci ku berubah jadi suka, akhir nya dimulai saat itu, saat ada tugas baru dari om bob untuk ku, menjadi penghibur dan penjaga Lia, sampai kondisi mental anak gadisnya itu kembali normal.
Tugas yang cukup berat bagi ku, kalian pasti bisa membayangkan, di suruh menghibur orang yang kita benci. Sikap normalnya membenci, pasti kita mau orang yang kita benci, mengalami hal yang buruk, sehingga bisa sedikit menghibur rasa benci tadi. Tapi tugas ini memaksaku melakukan kebalikannya. Jangan kan untuk menghibur, selama Lia boncengan dengan ku tiap hari kesekolah saja, dia selalu menghina ku, mengumpat-umpat sendiri.
“Gak bisa beli motor yang bagusan apa, udah jelek, lamban lagi, kalo gini terus, malem nyampe sekolahan gua”,kebanyakan aku diam, saat Lia mengumpat ku dari belakang punggungku, duduk di atas jok motor ku. Tapi aku juga mengumpatinya,...... dalam hati, malas adu mulut sama cewe, kalau ku balas mengumpatinya juga di luar hati.
Tepatnya hari rabu, setelah seminggu lebih dia mengasingkan diri dari dunia luar, Lia mulai ke sekolah lagi. Seperti biasa aku yang selalu duduk lebih awal di beranda rumahnya yang saling berhadapan dengan beranda rumah ku, menunggu dia bersiap-siap untuk ke sekolah. Setiap pagi aku selalu siap lebih dulu di banding Lia, tapi hari ini, entah kesambet setan bangun atau apa lah, aku juga tidak terlalu mengerti, Lia mendahului ku untuk urusan menunggu ini dan menduduki singasana tempat aku biasa menunggunya.
Tatapan nya kosong melihat pot tembikar yang di cet biru berada di sudut kiri depan teras rumahnya paling pojok, sekitar 3 sampai 4 langkah dari pagar rumahnya. Aku yang biasanya memilih diam dan tidak banyak bicara kepadanya, terpaksa harus membuka mulut lebih dahulu, angkat bicara, karna dia dia hanya diam membisu.
Sedikit tidak ikhlas, tetapi tidak mau terlalu ketus aku menyuruhnya naik ke motor, “Ayo.... Lu mau kesekolah bareng gua atau ga nih”, yahhh..... aku gagal, ternyata kata-kata yang keluar dari mulut ku, tidak bisa berbohong kalau aku masih benci dia, seperti hari sebelumnya. Anehnya, dia tidak membalas ketus, atau berkomentar apapun, malah cuma diam, jalan dengan tatapan kosong seperti mayat hidup, keluar dari pagar lalu kembali menutupnya, naik dan lansung duduk di belakang jok motor ku. Aku yang tidak turun dari motor yang dari tadi masih menyala, lansung tancap gas menuju tempat kami menuntut ilmu.
Pukul 1.15 WIB, tepatnya waktu istirahat, ku perhatikan Lia dari jauh, seperti tugas harian yang diberikan om Bob kepadaku sebelumnya, namun yang tidak biasa hari rabu ini, aku tidak harus duduk di kantin, diganggu suara ketawa riang abg cewe yang kerjanya cuma selfie-selfie, ngerumpi ngomongin keburukan temannya, hari ini aku hanya duduk, dekat parkiran motor, yang tepat menghadap sisi samping kelas Lia yang sekarang sedang bermenung, dia duduk di dekat jendela sehingga aku bisa jelas melihat wajahnya suramnya, tak memiliki aura lagi.
Aku tidak tau bagaimana cara untuk mulai mengerjakan tugas baru yang diberikan om Bob kepada ku, menghibur gadisnya yang sangat menyebalkan buat ku ini. Sampai waktu jam pulang pun aku tidak berhasil mengerjakan tugas dari om Bob. Pukul 14.30 ditunjukkan jam dinding kelas yang tadi sempat kulirik sebelum keluar kelas setelah mengepak peralatan belajarku, aku lansung menuju parkiran berencana menunggu Lia untuk pulang bareng seperti biasanya. Lagi-lagi aku dikejutkan oleh hal yang tidak biasa, atau bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya, Lia sudah lebih dahulu menungguku, duduk di jok belakang motorku dengan wajah suramnya, sorot matanya kosong, sama seperti di kelas tadi. Tak berkata-kata lagi, aku menarik dan menggeser motor keluar dari parkiran, tanpa mengganggu lamunan Lia dan lansung bergerak menuju rumah.
Kurang dari 20 menit, tepatnya jam 2 kurang 8 menit, kami sudah sampai rumah, Lia yang selama perjalanan pulang tadi diam membisu, di atas motor matic hitam keluaran Honda yang kami naiki berdua selama ini, tanpa sepatah kata pun turun dari motor dan lansung masuk ke dalam pintu rumahnya. Aku juga tidak bisa berkata, dan berbuat apa-apa lagi, “Sorry om Bob, hari ini gua gagal melaksankan tugas baru itu”, itu kata ku dalam hati, sembari masuk kerumah, setelah memarkirkan motor ku di halaman samping rumah. Esok dan hari-hari selanjutnya pun masih sama, aku gagal lagi dan sikap Lia pun masih tetap sama, diam dan dingin.
Pagi ini sedikit lebih dingin dibanding pagi rabu minggu kemaren saat aku pertama kali memboncengi Lia yang berubah murung dan pendiam, seperti hari-hari sebelumnya dia selalu yang menungguku lebih dahulu di beranda depan rumahnya, ....dan aku sudah mulai terbiasa dengan itu, untuk ku antar ke sekolah.
Jalanan tak sesepi keadaan aku dan Lia sekarang, yang sama-sama berdiam tak bersuara. Hari sebelumnya pun juga begitu, tak pernah ada percakapan atau pun dialog-dialog layaknya anak remaja yang kami berdua lakukan, kami sama-sama menahan mulut kami untuk bersuara.
“mmm..... Mi... Mik, hari ini kita gak masuk yuk”, setengah kaget aku mendengar Lia berbicara pada ku, mengalahkan kaget ketika aku mengelakkan lubang yang lumayan besar, yang tak terlihat olehku saat melewati turunan yang tidak beberapa meter dari gerbang rumah Lia. “Ya.... Gua lagi ga pengen ke sekolah aja hari ini, pengen jalan-jalan aja gitu”, sambung Lia dengan suara yang lembut, seperti anak kecil yang minta dibelikan mobil mainan pada ibunya, waktu si ibu ngajak ke pasar.
“Jadi kita bolos dong, gimana sama papa ntar, kalo sampe dia tahu?”, lama aku menanggapi omongan Lia, karna kaget ku masih belum sepenuhnya pergi. “emang lu pengen jalan kemana??”, ....aduh ....bodoh sekali pertanyaan ku, setelah tadi ucapan ku mengisyaratkan aku takut untuk bolos dengan dia.
“Terserah lu aja Mik, yang penting kita jalan-jalan aja”, perkataan Lia sudah sangat membuat aku tak bisa lagi menolak keinginannya untuk jalan-jalan. Akhirnya kuputar laju motor ku berbelok menjauhi jalanan yang biasa kami lalui menuju sekolah.
Kalau di fikir-fikir sih, ini bagus, aku jadi punya kesempatan untuk menjalankan tugas baru dari om bob itu, setelah seminggu gagal ku lakukan, bahkan mulai ku kerjakanpun belum. Menurut ku Lia ingin mengusir kesedihannya dengan mengajak ku jalan-jalan, mencari suasana dan pemandangan baru, karna sudah lumayan lama tertutup pada dunia luar. Aku menganggap ini suatu keberuntungan karena tanpa perlu lagi memutar otak memikirkan cara menghibur Lia, malah dia sendiri yang mmberi ku ide secara tidak lansung.
Terus lurus mengikuti jalan raya dago, sampai bertemu mobil-mobil berpelat kuning, mengetem, sedang menunggu penumpang diterminal dago, lalu lurus lagi meninggalkan terminal itu dan mengambil jalur ke kiri dari jalan yang lumayan sempit lalu melewati citra green, maka aku dan Lia sudah sampai di jalan dago giri atau dago atas. Lalu aku memacu pelan motor matic hitam ku ini, melaju di sepanjang jalan ini.
Jalanan sempit dan berliku-liku, tak bisa memaksaku melajukan matic hitam ini dengan kecepatan lebih dari 40 Km per jam. Jalan pelan jauh lebih bagus, karna selain lebih aman, kita bisa sekaligus menikmati perjalanan dengan pemandangan pegunungan yang indah, hijau dan asri, serta kesejukan udaranya, jauh dari hiruk pikuk sesaknya kota bandung saat musim liburan. Hamparan hijaunya pepohonan kaki-kaki bukit, membuat ku yakin kalau pilihan ku menempuh jalan ini, sangat tepat untuk menyegarkan hati dan fikiran Lia yang sudah lama suram sepeninggal mamanya itu.
Jalanan sempit dan berbelok ini membuat kami menjadi anak remaja normal, yang kebanyakan pasti mengoceh tak jelas kalau mereka sudah naik motor boncengan. Aku sudah mulai terbiasa tidak merasa aneh lagi becakap-cakap dengan Lia, dan dia pun begitu. Aku mungkin sudah mulai lupa kalau dulu aku sangat membenci gadis ini, selama aku berbincang dengannya.
20 km per jam mungkin kecepatan motor ku tidak lebih, membuat perjalanan yang kalau di teruskan dengan sedikit memacu kendaraan selama kurang lebih setengah jam akan sampai di lembang ini semakin tersa menyenangkan, kalu tidak percaya kalian boleh mencobanya, melewati jalur ini menuju lembang, aku bisa jamin kalian tidak akan kecewa dengan pemandangannya. Panjang peebincangan kami, mulai dari topik tentang Lia, mamanya tante Erlin, Papanya, dan tidak terlalu banyak tetapi ada sedikit tentang diri ku, yang kami bahas dalam percakapan itu.
Kami sempat berhenti sejenak di pinggir jalan, duduk bersisian, Lia di kanan dan aku di kiri, berdua beralaskan jok motor, saling curhat, tertawa, mengenal satu sama lain, layaknya pasangan kekasih yang baru jadian, menghadap lansung ke pemandangan indah di depan kami, sembari ditemani semilirnya angin sejuk pegunungan yang mengacak-acak rambut kami berdua, tapi sayang nya waktu itu aku belum mulai pacaran dengan Lia, jadi jangan bayangkan aku saat itu bicara sambil memegang tangannya, bahkan aku baru mulai benar-benar mengenal siapa Lia, adalah pada saat itu.
Banyak hal baru yang aku ketahui tentang Lia dari percakapan kami yang lumayan menyenangkan itu. Aku mulai bisa memahami sifat asli dari gadis ini, aku bahkan mulai empati dengan kesedihan yang di alaminya, yang mana sebelumnya aku tidak begitu peduli dengan kesedihannya itu.
Lebih kurang 3 jam kami duduk dipinggir jalan dengan pemandangan indah itu, bercengkarama, bertukar tawa canda, guna mengusir kesedihan Lia, dan juga membuat pikiranku menjadi lebih fresh, karna sudah lama sekali tidak berjalan-jalan seperti ini. Di tontonni beberapa mobil dan motor yang berlalu lalang jarang sekali di jalanan menuju lembang ini, kami akhirnya memutuskan kembali ke dago, karna terlihat matahari sudah mulai naik sejajar dengan ubun-ubun kami.
Sekolah kami bubar pukul setengah dua, kami sampai di rumah kira-kira jam dua lewat beberapa menit, aku tidak sempan melihat jam saat itu, kami sedikit terlambat, karena memang aku memacu motor tidak secapat Rossi, sang jawara motoGP, takut terlalu cepat sampai dirumah nanti, dan bisa ketauan oleh om bob kalau kami berdua membolos sekolah hari ini. Terlambat sedikit sampai dirumah kursa tak masalah, karna biasanya juga sebelum-sebelum ini kami sering terlambat juga. Setelah beberapa basa-basi kami akhirnya berpisah dan masuk rumah masing-masing.
Hari sabtu tepatnya dua hari setelah jalan-jalan pertama kami, papa nya Lia om Bob, terbang ke London guna mengurus urusan kerjanya lagi, setelah hampir seminggu lebih cuti bekerja. Sorenya Lia mengirimkan pesan whatApp kepadaku, dia mendapat nomor ku sehari setelah kami jalan-jalan kemaren.
“Mik, kerumah gua dong, PB-an bareng, bosen main sendiri gua, lagian papa juga dah ke London lagi nih, hahahahaha.......”, dari pesan yang dikirimkan Lia, aku bisa menyimpulkan dia sudah mulai bersahabat dengan ku, tidak seperti hubungan kami sebelumnya yang memiliki jarak yang renggang, aku pun begitu, sudah mulai terbiasa bertukar pesan whatsApp dengannya, Lia membuatku tidak bosan chatingan tiap malam, dan dari situ kami tahu kalau kami mempunyai hobi yang sama, ....maniac game online.
Ting....tong..... ting......tong, dua kali bel rumah gedongan kediaman om Bob ku pencet, Lansung terlihat wajah ayu Lia yang mejeng dibalik pintu, setelah pintu berganggang mewah itu terbuka, “masuk Mik, lu lama banget, gua hampir dewa nih, lu bawa laptop kan”, sapa gadis ini menyuruhku masuk. Lansung menuntun ku menuju ruang kerja santai milik papa-nya om Bob.
Ruangan 6x6 lumayan luas dengan satu layar LCD 42 inch terpampang di dinding, tepat terlihat setelah pintu ruangan ini di buka. Satu buah CPUbesar, dan dua buah CPU ukuran standar yang bertengger di atasnya, menghiasi pojok kiri ruangan kerja itu. Cat cream terang pelapis dinding ruangan ini serta poster-poster berbagai jenis game hits dan top yang tertempel membuat ruangan ini menjadi lebih hidup dan tidak kaku seperti ruang kerja kebanyakan.
Setidaknya ada 6 LCD monitor dalam ruangan ini, yang terhubung ke CPU yang berukuran besar tadi. Selain itu home teater ruangan ini sangat bagus sekali, bunyi musik dan suara head shot yang diteriakan narator dalam PB, terpisah dan tetap tidak bising terdengar, tidak seperti di warnet bawah tanah.
Om bob juga pencinta game online, masa muda nya juga banyak di ambil alih oleh game. Sekarang pun kalau ia libur, walau Cuma beberapa hari, dia pasti tetap menyempatkan diri main game, walau bukan game online lagi, tapi cukup membuat libur singkatnya di rumah menjadi menyenangkan, setidaknya itulah yang di ceritakan Lia pada ku, selama awal kedekatan kami ini.
“Lu tau mik... nama bunga ini??”, pertanyaan Lia membuat ku sedikit berpikir, setelah aku menempatkan duduk di salah satu kursi dengan meja cukup lebar sebagai dudukan 6 monitor tadi. Sembari membuka akun PB ku, melirik sedikit ke LCD monitor Lia disebelahku, melihat gambar bunga yang ia tunjukkan.“Ini bunga kamelia namanya mik, lu cowok ga bakal tau deh, jadi ga usah sok-sokan mikir. Nama gua, asalnya di ambil dari nama ni bunga, mama yang ngasih, dia sukanya bunga kamelia soalnya”, sambung Lia sebelum aku sempat tau jawaban pertanyaannya. Ekspresi Lia yang tadi riang sempat berubah murung saat dia membahas mamanya tadi, spontan aku lansung mengalihkan pembicaraan agar itu tidak berlarut.
“Jadi nama karakter, (K) itu, inisial dari Kamelia dong, gua jadi nambah tau rahasia lu (K). Mulai sekarang gua manggil lu K aja ya”, kata ku berusaha memecah pikiran Lia yang mulai mengingat kembali kesedihannya itu.
![]() |
Sempurna Dunia |
Kisah hidup orang yang kita benci akan melekat kuat tertempel di otak kita, karena kebencian itu memaksa kita melakukannya, karna itulah kebanyakan orang lebih mengenal baik musuhnya ketimbang temannya sendiri. Seperti pepatah “tak kenal maka tak sayang”, maka tak jarang rasa benci tadi berubah menjadi rasa suka, karna kita sudah terlalu mengenal orang yang kita benci. Kita akan merasa lebih nyaman bersama orang yang kita kenal, karena mengenal dan mengetahui bisa membangkitkan kepercayaan, dan kepercayaan sarat dengan keintiman, yang membangkitkan rasa suka.
12
tahun silam, waktu aku masih 11 tahun, lingkungan ITB tidak asing
bagi ku, rumah ku dan rumah Lia, “K”, begitu aku biasa memanggilnya,
letaknya berseberangan, dibatasi jalanan aspal tempat lalu lalang
orang-orang komplek,
dan berdiri kokoh di daerah dago. Cuma 5 menit dari rumah ku, menyusuri
jalanan
berbelok dan menurun, dengan memakai motor aku akan sampai kampus ITB.
Enam hari
dalam seminggu, kecuali hari minggu, setiap pagi nya, aku dan Lia selalu
jalan
bersama, karena keluarga kami berdua sudah saling kenal dan dekat, aku
dipercaya Om Bob untuk memboncengi putrinya itu kesekolah.
Kami berdua menuntut ilmu di sekolah yang sama, dari masih mengenakan celanaku dongker, sampai jadi generasi putih abu-abu, aku masih satu sekolahan dengan Lia, sayangnya cuma 2 tahun, aku dan Lia memakai logo osis di SMA yang sama, sebelum aku akhirnya hijrah dari Dago, dan melanjutkan tahun akhir masa SMA ku di Jakarta.
Tepat pertengahan tahun kedua ku bersekolah di SMP yang sama dengan Lia, aku mulai berpacaran dengan Lia. Selama 1 setengah tahun, sejak aku pertama kali berkenalan dengan Lia, aku menjadi orang yang membenci gadis ini. Sombong, arogan, sok cantik, menganggap remeh orang lain, itu kesan pertama waktu aku baru berkenalan dengan dia, waktu itu dia benar-benar orang yang menyebalkan, sehingga aku membencinya. Tapi satu setengah tahun berlalu dengan menjadi "Heaters"-nya, gadis ini berubah menjadi sosok yang pendiam.
Awal tahun kedua SMP, tante Erlin, mama nya Lia meninggal dunia, di akibatkan kecelakaan mobil. Hal inilah yang membuat Lia berubah drastis. Gadis sombong pengumpat dan suka mencemooh orang itu sentak mengalami perubahan kepribadian menjadi sosok yang pendiam dan dingin. Dia menjadi lebih sensitif, mudah marah, tapi memendamnya dalam hati, aku bisa melihatnya. Seminggu lebih tiga hari seingatku, Lia bahkan tidak ku bonceng ke sekolah, dia tidak keluar rumah, bahkan keluar kamarnya pun dia jarang, memilih mengunci diri, setidaknya itu yang di ceritakan om Bob kepada ku.
Lia dan om Bob, tidak terlalu dekat, ....maksud ku bukanya hubungan mereka tidak baik, mereka tidak ada konflik apapun, saling komunikasi dan berinteraksi, layaknya hubungan normal antara ayah dan anak. Tapi tak seperti mamanya Lia, tante Erlin, beliau tidak hanya menjadi sosok seorang ibu bagi anak gadisnya itu, beliau juga bisa menjadi sosok seorang sahabat bagi Lia. Kalau Lia ada masalah disekolah, masalah dengan teman, bahkan saat Lia naksir dengan seseorang, Lia selalu curhat ke tante Erlin, mamanya. Aku pun pernah satu ketika curhat dengan beliau.
Layaknya seorang ayah yang super sibuk, tiap minggu harus keluar negeri mengurus pekerjaan, om Bob tidak memiliki banyak waktu mengobrol santai dengan Lia, membahas kehidupan masa remaja anak gadisnya itu. Jangan kan untuk bisa curhat, bahkan pekerjaannya itu membuat beliau jarang melakukan liburan keluarga bersama, wajar kalau hubungan mereka tidak terlalu dekat. Namun rasa sayang om Bob untuk anak dan istrinya sangatlah besar.
Mengantar Lia setiap hari, sebenarnya tugas yang di berikan om Bob kepada ku, karna dia begitu peduli dengan pergaulan anaknya, dan tidak mau anaknya terjerumus kedalam pergaulan muda-mudi zaman sekarang yang sangat bebas, maka dibalik kata mengantar, sebenarnya ada kata mengawasi, tapi om Bob tidak memberitahukannya ke Lia, mengawasi Lia menjadi rahasia antara om Bob dan aku saja.
Perubahan sikap Lia yang drastis, seperti kapal pesiar yang berputar 180 derajat, ketika sang nahkoda kapal melihat ada batu karang raksasa di depannya, membuat kepala om Bob pusing dan dilanda rasa khawatir, takut anak gadis semata wayang nya ini kenapa-kenapa. Hal ini merembes kepada ku, awal benci ku berubah jadi suka, akhir nya dimulai saat itu, saat ada tugas baru dari om bob untuk ku, menjadi penghibur dan penjaga Lia, sampai kondisi mental anak gadisnya itu kembali normal.
Tugas yang cukup berat bagi ku, kalian pasti bisa membayangkan, di suruh menghibur orang yang kita benci. Sikap normalnya membenci, pasti kita mau orang yang kita benci, mengalami hal yang buruk, sehingga bisa sedikit menghibur rasa benci tadi. Tapi tugas ini memaksaku melakukan kebalikannya. Jangan kan untuk menghibur, selama Lia boncengan dengan ku tiap hari kesekolah saja, dia selalu menghina ku, mengumpat-umpat sendiri.
“Gak bisa beli motor yang bagusan apa, udah jelek, lamban lagi, kalo gini terus, malem nyampe sekolahan gua”,kebanyakan aku diam, saat Lia mengumpat ku dari belakang punggungku, duduk di atas jok motor ku. Tapi aku juga mengumpatinya,...... dalam hati, malas adu mulut sama cewe, kalau ku balas mengumpatinya juga di luar hati.
Tepatnya hari rabu, setelah seminggu lebih dia mengasingkan diri dari dunia luar, Lia mulai ke sekolah lagi. Seperti biasa aku yang selalu duduk lebih awal di beranda rumahnya yang saling berhadapan dengan beranda rumah ku, menunggu dia bersiap-siap untuk ke sekolah. Setiap pagi aku selalu siap lebih dulu di banding Lia, tapi hari ini, entah kesambet setan bangun atau apa lah, aku juga tidak terlalu mengerti, Lia mendahului ku untuk urusan menunggu ini dan menduduki singasana tempat aku biasa menunggunya.
Tatapan nya kosong melihat pot tembikar yang di cet biru berada di sudut kiri depan teras rumahnya paling pojok, sekitar 3 sampai 4 langkah dari pagar rumahnya. Aku yang biasanya memilih diam dan tidak banyak bicara kepadanya, terpaksa harus membuka mulut lebih dahulu, angkat bicara, karna dia dia hanya diam membisu.
Sedikit tidak ikhlas, tetapi tidak mau terlalu ketus aku menyuruhnya naik ke motor, “Ayo.... Lu mau kesekolah bareng gua atau ga nih”, yahhh..... aku gagal, ternyata kata-kata yang keluar dari mulut ku, tidak bisa berbohong kalau aku masih benci dia, seperti hari sebelumnya. Anehnya, dia tidak membalas ketus, atau berkomentar apapun, malah cuma diam, jalan dengan tatapan kosong seperti mayat hidup, keluar dari pagar lalu kembali menutupnya, naik dan lansung duduk di belakang jok motor ku. Aku yang tidak turun dari motor yang dari tadi masih menyala, lansung tancap gas menuju tempat kami menuntut ilmu.
Pukul 1.15 WIB, tepatnya waktu istirahat, ku perhatikan Lia dari jauh, seperti tugas harian yang diberikan om Bob kepadaku sebelumnya, namun yang tidak biasa hari rabu ini, aku tidak harus duduk di kantin, diganggu suara ketawa riang abg cewe yang kerjanya cuma selfie-selfie, ngerumpi ngomongin keburukan temannya, hari ini aku hanya duduk, dekat parkiran motor, yang tepat menghadap sisi samping kelas Lia yang sekarang sedang bermenung, dia duduk di dekat jendela sehingga aku bisa jelas melihat wajahnya suramnya, tak memiliki aura lagi.
Aku tidak tau bagaimana cara untuk mulai mengerjakan tugas baru yang diberikan om Bob kepada ku, menghibur gadisnya yang sangat menyebalkan buat ku ini. Sampai waktu jam pulang pun aku tidak berhasil mengerjakan tugas dari om Bob. Pukul 14.30 ditunjukkan jam dinding kelas yang tadi sempat kulirik sebelum keluar kelas setelah mengepak peralatan belajarku, aku lansung menuju parkiran berencana menunggu Lia untuk pulang bareng seperti biasanya. Lagi-lagi aku dikejutkan oleh hal yang tidak biasa, atau bahkan tidak pernah terjadi sebelumnya, Lia sudah lebih dahulu menungguku, duduk di jok belakang motorku dengan wajah suramnya, sorot matanya kosong, sama seperti di kelas tadi. Tak berkata-kata lagi, aku menarik dan menggeser motor keluar dari parkiran, tanpa mengganggu lamunan Lia dan lansung bergerak menuju rumah.
Kurang dari 20 menit, tepatnya jam 2 kurang 8 menit, kami sudah sampai rumah, Lia yang selama perjalanan pulang tadi diam membisu, di atas motor matic hitam keluaran Honda yang kami naiki berdua selama ini, tanpa sepatah kata pun turun dari motor dan lansung masuk ke dalam pintu rumahnya. Aku juga tidak bisa berkata, dan berbuat apa-apa lagi, “Sorry om Bob, hari ini gua gagal melaksankan tugas baru itu”, itu kata ku dalam hati, sembari masuk kerumah, setelah memarkirkan motor ku di halaman samping rumah. Esok dan hari-hari selanjutnya pun masih sama, aku gagal lagi dan sikap Lia pun masih tetap sama, diam dan dingin.
Pagi ini sedikit lebih dingin dibanding pagi rabu minggu kemaren saat aku pertama kali memboncengi Lia yang berubah murung dan pendiam, seperti hari-hari sebelumnya dia selalu yang menungguku lebih dahulu di beranda depan rumahnya, ....dan aku sudah mulai terbiasa dengan itu, untuk ku antar ke sekolah.
Jalanan tak sesepi keadaan aku dan Lia sekarang, yang sama-sama berdiam tak bersuara. Hari sebelumnya pun juga begitu, tak pernah ada percakapan atau pun dialog-dialog layaknya anak remaja yang kami berdua lakukan, kami sama-sama menahan mulut kami untuk bersuara.
“mmm..... Mi... Mik, hari ini kita gak masuk yuk”, setengah kaget aku mendengar Lia berbicara pada ku, mengalahkan kaget ketika aku mengelakkan lubang yang lumayan besar, yang tak terlihat olehku saat melewati turunan yang tidak beberapa meter dari gerbang rumah Lia. “Ya.... Gua lagi ga pengen ke sekolah aja hari ini, pengen jalan-jalan aja gitu”, sambung Lia dengan suara yang lembut, seperti anak kecil yang minta dibelikan mobil mainan pada ibunya, waktu si ibu ngajak ke pasar.
“Jadi kita bolos dong, gimana sama papa ntar, kalo sampe dia tahu?”, lama aku menanggapi omongan Lia, karna kaget ku masih belum sepenuhnya pergi. “emang lu pengen jalan kemana??”, ....aduh ....bodoh sekali pertanyaan ku, setelah tadi ucapan ku mengisyaratkan aku takut untuk bolos dengan dia.
“Terserah lu aja Mik, yang penting kita jalan-jalan aja”, perkataan Lia sudah sangat membuat aku tak bisa lagi menolak keinginannya untuk jalan-jalan. Akhirnya kuputar laju motor ku berbelok menjauhi jalanan yang biasa kami lalui menuju sekolah.
Kalau di fikir-fikir sih, ini bagus, aku jadi punya kesempatan untuk menjalankan tugas baru dari om bob itu, setelah seminggu gagal ku lakukan, bahkan mulai ku kerjakanpun belum. Menurut ku Lia ingin mengusir kesedihannya dengan mengajak ku jalan-jalan, mencari suasana dan pemandangan baru, karna sudah lumayan lama tertutup pada dunia luar. Aku menganggap ini suatu keberuntungan karena tanpa perlu lagi memutar otak memikirkan cara menghibur Lia, malah dia sendiri yang mmberi ku ide secara tidak lansung.
Terus lurus mengikuti jalan raya dago, sampai bertemu mobil-mobil berpelat kuning, mengetem, sedang menunggu penumpang diterminal dago, lalu lurus lagi meninggalkan terminal itu dan mengambil jalur ke kiri dari jalan yang lumayan sempit lalu melewati citra green, maka aku dan Lia sudah sampai di jalan dago giri atau dago atas. Lalu aku memacu pelan motor matic hitam ku ini, melaju di sepanjang jalan ini.
Jalanan sempit dan berliku-liku, tak bisa memaksaku melajukan matic hitam ini dengan kecepatan lebih dari 40 Km per jam. Jalan pelan jauh lebih bagus, karna selain lebih aman, kita bisa sekaligus menikmati perjalanan dengan pemandangan pegunungan yang indah, hijau dan asri, serta kesejukan udaranya, jauh dari hiruk pikuk sesaknya kota bandung saat musim liburan. Hamparan hijaunya pepohonan kaki-kaki bukit, membuat ku yakin kalau pilihan ku menempuh jalan ini, sangat tepat untuk menyegarkan hati dan fikiran Lia yang sudah lama suram sepeninggal mamanya itu.
Jalanan sempit dan berbelok ini membuat kami menjadi anak remaja normal, yang kebanyakan pasti mengoceh tak jelas kalau mereka sudah naik motor boncengan. Aku sudah mulai terbiasa tidak merasa aneh lagi becakap-cakap dengan Lia, dan dia pun begitu. Aku mungkin sudah mulai lupa kalau dulu aku sangat membenci gadis ini, selama aku berbincang dengannya.
20 km per jam mungkin kecepatan motor ku tidak lebih, membuat perjalanan yang kalau di teruskan dengan sedikit memacu kendaraan selama kurang lebih setengah jam akan sampai di lembang ini semakin tersa menyenangkan, kalu tidak percaya kalian boleh mencobanya, melewati jalur ini menuju lembang, aku bisa jamin kalian tidak akan kecewa dengan pemandangannya. Panjang peebincangan kami, mulai dari topik tentang Lia, mamanya tante Erlin, Papanya, dan tidak terlalu banyak tetapi ada sedikit tentang diri ku, yang kami bahas dalam percakapan itu.
Kami sempat berhenti sejenak di pinggir jalan, duduk bersisian, Lia di kanan dan aku di kiri, berdua beralaskan jok motor, saling curhat, tertawa, mengenal satu sama lain, layaknya pasangan kekasih yang baru jadian, menghadap lansung ke pemandangan indah di depan kami, sembari ditemani semilirnya angin sejuk pegunungan yang mengacak-acak rambut kami berdua, tapi sayang nya waktu itu aku belum mulai pacaran dengan Lia, jadi jangan bayangkan aku saat itu bicara sambil memegang tangannya, bahkan aku baru mulai benar-benar mengenal siapa Lia, adalah pada saat itu.
Banyak hal baru yang aku ketahui tentang Lia dari percakapan kami yang lumayan menyenangkan itu. Aku mulai bisa memahami sifat asli dari gadis ini, aku bahkan mulai empati dengan kesedihan yang di alaminya, yang mana sebelumnya aku tidak begitu peduli dengan kesedihannya itu.
Lebih kurang 3 jam kami duduk dipinggir jalan dengan pemandangan indah itu, bercengkarama, bertukar tawa canda, guna mengusir kesedihan Lia, dan juga membuat pikiranku menjadi lebih fresh, karna sudah lama sekali tidak berjalan-jalan seperti ini. Di tontonni beberapa mobil dan motor yang berlalu lalang jarang sekali di jalanan menuju lembang ini, kami akhirnya memutuskan kembali ke dago, karna terlihat matahari sudah mulai naik sejajar dengan ubun-ubun kami.
Sekolah kami bubar pukul setengah dua, kami sampai di rumah kira-kira jam dua lewat beberapa menit, aku tidak sempan melihat jam saat itu, kami sedikit terlambat, karena memang aku memacu motor tidak secapat Rossi, sang jawara motoGP, takut terlalu cepat sampai dirumah nanti, dan bisa ketauan oleh om bob kalau kami berdua membolos sekolah hari ini. Terlambat sedikit sampai dirumah kursa tak masalah, karna biasanya juga sebelum-sebelum ini kami sering terlambat juga. Setelah beberapa basa-basi kami akhirnya berpisah dan masuk rumah masing-masing.
Hari sabtu tepatnya dua hari setelah jalan-jalan pertama kami, papa nya Lia om Bob, terbang ke London guna mengurus urusan kerjanya lagi, setelah hampir seminggu lebih cuti bekerja. Sorenya Lia mengirimkan pesan whatApp kepadaku, dia mendapat nomor ku sehari setelah kami jalan-jalan kemaren.
“Mik, kerumah gua dong, PB-an bareng, bosen main sendiri gua, lagian papa juga dah ke London lagi nih, hahahahaha.......”, dari pesan yang dikirimkan Lia, aku bisa menyimpulkan dia sudah mulai bersahabat dengan ku, tidak seperti hubungan kami sebelumnya yang memiliki jarak yang renggang, aku pun begitu, sudah mulai terbiasa bertukar pesan whatsApp dengannya, Lia membuatku tidak bosan chatingan tiap malam, dan dari situ kami tahu kalau kami mempunyai hobi yang sama, ....maniac game online.
Ting....tong..... ting......tong, dua kali bel rumah gedongan kediaman om Bob ku pencet, Lansung terlihat wajah ayu Lia yang mejeng dibalik pintu, setelah pintu berganggang mewah itu terbuka, “masuk Mik, lu lama banget, gua hampir dewa nih, lu bawa laptop kan”, sapa gadis ini menyuruhku masuk. Lansung menuntun ku menuju ruang kerja santai milik papa-nya om Bob.
Ruangan 6x6 lumayan luas dengan satu layar LCD 42 inch terpampang di dinding, tepat terlihat setelah pintu ruangan ini di buka. Satu buah CPUbesar, dan dua buah CPU ukuran standar yang bertengger di atasnya, menghiasi pojok kiri ruangan kerja itu. Cat cream terang pelapis dinding ruangan ini serta poster-poster berbagai jenis game hits dan top yang tertempel membuat ruangan ini menjadi lebih hidup dan tidak kaku seperti ruang kerja kebanyakan.
Setidaknya ada 6 LCD monitor dalam ruangan ini, yang terhubung ke CPU yang berukuran besar tadi. Selain itu home teater ruangan ini sangat bagus sekali, bunyi musik dan suara head shot yang diteriakan narator dalam PB, terpisah dan tetap tidak bising terdengar, tidak seperti di warnet bawah tanah.
Om bob juga pencinta game online, masa muda nya juga banyak di ambil alih oleh game. Sekarang pun kalau ia libur, walau Cuma beberapa hari, dia pasti tetap menyempatkan diri main game, walau bukan game online lagi, tapi cukup membuat libur singkatnya di rumah menjadi menyenangkan, setidaknya itulah yang di ceritakan Lia pada ku, selama awal kedekatan kami ini.
“Lu tau mik... nama bunga ini??”, pertanyaan Lia membuat ku sedikit berpikir, setelah aku menempatkan duduk di salah satu kursi dengan meja cukup lebar sebagai dudukan 6 monitor tadi. Sembari membuka akun PB ku, melirik sedikit ke LCD monitor Lia disebelahku, melihat gambar bunga yang ia tunjukkan.“Ini bunga kamelia namanya mik, lu cowok ga bakal tau deh, jadi ga usah sok-sokan mikir. Nama gua, asalnya di ambil dari nama ni bunga, mama yang ngasih, dia sukanya bunga kamelia soalnya”, sambung Lia sebelum aku sempat tau jawaban pertanyaannya. Ekspresi Lia yang tadi riang sempat berubah murung saat dia membahas mamanya tadi, spontan aku lansung mengalihkan pembicaraan agar itu tidak berlarut.
“Jadi nama karakter, (K) itu, inisial dari Kamelia dong, gua jadi nambah tau rahasia lu (K). Mulai sekarang gua manggil lu K aja ya”, kata ku berusaha memecah pikiran Lia yang mulai mengingat kembali kesedihannya itu.
Tidak ada komentar:
Budayakan komentar.....